Sahabat Penulis

Monday 21 June 2010

Optimisme Investasi Riau

Oleh: Joni Lis Efendi

Founder Brain Writing School



Kegamangan menghadapi ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA/Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan Cina) kian mencuat setelah mulai diberlakukan awal tahun ini. Banyak pihak yang mengeluhkan ancaman membanjirnya produk Cina yang menyerbu pasar di tanah air. Gejala ini sudah terlihat dan bulan-bulan ke depan serbuan produk Cina tidak akan terbendung lagi. Kekuatiran ini sangat beralasan karena bisa menyebabkan matinya ekonomi masyarakat. Karena produksi dalam negeri kalah bersaing dengan produk Cina tersebut. Sebenarnya, ACFTA justru membawa keuntungan bagi Indonesia dengan pangsa pasar penduduk Cina yang lebih 1 milyar orang. Namun sejauh ini, pemerintah kita dinilai belum tanggap dan kebijakannya kurang mendukung daya saing pengusaha nasional dan sektor usaha kecil menengah sehingga mampu bersaing. Baik dari segi kebijakan keringanan pajak, intensif dan banyaknya biaya retribusi yang harus dibayar usahawan kita. Sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan harga produksi dalam negeri kurang kompetitif.

Bagaimana menyikapi ACFTA bagi investasi di daerah Riau? Bagi Riau, ACFTA memiliki nilai ekonomis yang sangat strategis. Mengingat dengan adanya perjanjian perdagangan bebas ini, investasi dari negeri tirai bambu itu akan lebih leluasa masuk ke Riau. Seperti yang diketahui, Riau memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar terutama industri CPO. Di mana, perkebunan kelapa sawit Riau yang mencapai 1,7 juta hektar dan terbesar di Indonesia. Kebutuhan CPO Cina sangat besar dan mereka menggantungkan semuanya dari impor. Riau bisa mengambil peluang ini dengan mengekspor CPO ke Cina. Selain itu, masih besarnya potensi perkebunan kelapa sawit Riau yang belum tergarap optimal bisa menjadi “jualan” investasi bagi investor Cina untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Apalagi ditambah dengan tekad pemerintah daerah Riau yang ingin membangun klaster industri hilir kelapa sawit di Dumai dan Kuala Enok, Indragiri Hilir, yang pastinya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Kebutuhan investasi untuk pengembangan klaster industri hilir kelapa sawit tersebut Riau sedikitnya mencapai Rp 55 triliun. Investasi sebesar itu diperuntukkan untuk percepatan pembangunan pembangkit listrik, infrastruktur, dan pelabuhan di Dumai dan Kuala Enok itu. Pemerintah memberikan sistem kerja sama dalam bentuk skema public private partnership (PPP) yang disertai pemberian insentif bunga oleh pemerintah.

Klaster industri di Dumai dan Kuala Enok tersebut akan berdampak silmutan dengan peningkatan daya saing perekonomian daerah. Seperti yang ada saat ini di Kota Dumai yang kini telah memiliki 105 perusahaan, baik melalui penanaman modal asing (PMA) maupun modal dalam negeri (PMDN), yang nilai investasinya telah mencapai Rp14,6 triliun. Sedangkan jumlah tenaga kerja di sana telah mencapai 14.104 tenaga kerja lokal dan 282 tenaga kerja asing. Sementara di kawasan industri Pelintung, Dumai, kini sudah terbangun sembilan proyek industri hilir. Kawasan yang sebagian besar menjadi wilayah operasional PT Wilmar Bioenergi Indonesia itu sudah terbangun industri pengolahan minyak goreng, pupuk, dan biodiesel. Infrastruktur jalan pun sudah terbangun sebagian dari bandara hingga ke lokasi sentra kawasan industri. Sedangkan pengembangan klaster industri di Kuala Enok masih dimulai dari nol sehingga membutuhkan investasi mencapai Rp 30-40 triliun.

Pengembangan ke depannya, pemerintah akan mengkaji pengembangan CPO hingga produk turunan ketiga. Sementara ini, produk nonpangan yang berasal dari olahan fatty alkohol dan fatty acid, yang merupakan turunan produk kedua seperti sabun, lilin, dan kosmetik. Dengan pengembangan industri hilir, nilai tambah produk akan meningkat. Jika CPO bisa diolah menjadi biodiesel, pemasukan perusahaan dapat ditingkatkan hingga US$ 300 per ton. Pengembangan industri hilir mampu meningkatkan 60 persen pendapatannya dan efek berantainya lebih luas dalam menggerakkan ekonomi daerah serta masyarakat.

Selain di industri kelapa sawit, Riau juga memiliki objek investasi yang bernilai strategis lainnya seperti penyediaan infrastruktur seperti jalan tol Pekanbaru-Dumai, rel kreta api Dumai-Inhil, jembatan lintas selat Malaka, serta pembangkit tenaga listrik. Keterlibatan pihak swasta dan asing dalam pembiayaan proyek infrastruktur tersebut sangat mutlak dibutuhkan oleh Riau. Pemodalan bagi investasi yang bernilai strategis tersebut dapat juga diusahakan dengan mengupayakan kerja sama pemerintah daerah Riau dengan pemerintah dan investor Cina. Sebagi gambaran, PT PLN mebutuhkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berdaya 2x100 megawatt (MW) di Tenayan, Pekanbaru, membutuhkan investasi sekitar Rp2 triliun yang seluruhnya tidak berasal dari perusahaan listrik plat merah tersebut. Apalagi belakangan ini, pihak Cina sangat gencar melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang memiliki peluang investasi yang menjanjikan untuk menjajaki kerja sama. Pemrov Riau bisa berinisiatif melakukan kunjungan kerja sekaligus membawa pengusaha lokal ke negeri tirai bambu tersebut untuk menawarkan paket investasi bagi pemodal Cina.

Riau dalam kacamata pusat dinilai daerah yang paling siap untuk penanaman investasi. Dari 33 Provinsi di Indonesia yang dinilai, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menobatkan 7 provinsi berhak mendapatkan Regional Champions 2010 dan salah satunya Provinsi Riau sebagai salah satu provinsi yang dinilai paling siap menerima investasi. Penghargaan Regional Champions ini diserahkan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), kepada Gubernur Riau, HM Rusli Zainal SE MP. Dari pengharagaan ini, dapat dilihat bahwa Riau memiliki potensi pengembangan ekonomi yang sangat mendukung investasi ke depannya. Kepercayaan pemerintah pusat ini sebenarnya sudah cukup bagi pemerintah daerah Riau untuk bergerak melakukan promosi untuk menggaet investor sebanyak-banyaknya untuk menanamkan investasi di daerah ini.

Bukan hanya keunggulan sumber daya alam yang besar dan kemudahan birokrasi, Riau juga memiliki tren pertumbuhan ekonomi makro yang positif dan terus meningkat. Dalam hal ini, Kantor Bank Indonesia (KBI) Pekanbaru memprediksikan pertumbuhan ekonomi Riau 2010 dengan migas berada di kisaran 4,2-4,9 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas berada di kisaran 7,8-8,5 persen. Prediksi ini lebih baik daripencapaian pertumbuhan ekonomi Riau selama tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi Riau 2009 dengan Migas mencapai angka 3,91 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi 2009 tanpa migas sekitar 7,25 persen. Angka ini hampir dua kali lipatnya pertumbuhan nasional. Faktor ekonomi makro ini menggambarkan sangat jelas bahwa Riau sangat menjanjikan bagi investasi karena memiliki prosfek yang cerah.

Selama ini, yang menjadi kendala bagi investor untuk menanamkan investasinya di Riau lebih dikarenakan masih terbatasnya infrastruktur penunjang seperti jalan, listrik, air bersih dan sarana penunjang lainnya yang dimiliki daerah ini. Sebenarnya Riau bisa mensiasati keterbatasan infrastruktur ini tanpa harus ketergantungan pada pemerintah pusat dengan menguapayakan bantuan lunak dari luar negeri atau investor asing dengan perjanjian yang saling menguntungkan. Peluang itu telah terbuka lebar dengan adanya ACFTA. Cina dalam beberapa tahun belakangan menjadi negara yang investasi luar negerinya yang terbesar dan terus meningkat. Tidak ada salahnya jika Riau menjajaki kerja sama dengan Cina terutama dalam penanaman investasi di daerah ini. Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki, Riau selalu menjadi “lirikan” investor dalam negeri dan asing tapi semua itu tergantung bagaimana pemerintahan daerah mampu meyakinkan para investor tersebut. Peluang itu sangat terbuka lebar.***

Dimuat di Riau Pos 15 Maret 2010

No comments:

Post a Comment

Silahkan Titip Pesan di sini: