Sahabat Penulis

Tuesday 31 August 2010

22 Cerpen Pemenang Lomba Cipta Cerpen Pemuda 2010

Jakarta: Berdasarkan surat keputusan Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kemenpora dengan nomer: Kep.0278A/Menpora D.I/7/2010, maka dewan juri Lomba Cipta Cerpen Pemuda 2010 Rabu (25/8) lalu telah memutuskan sebanyak 22 cerpen yang masuk ke dalam daftar panitia.

Lomba Cipta Cerita Pendek Pemuda 2010 diselenggarakan untuk memberikan apresiasi kepada pemuda yang berprestasi dan berbakat dalam bidang sastra. Selain itu kemenpora juga ingin memberikan ruang, pengakuan dan penghargaan terhadap pemuda Indonesia atas prestasi, karya dan kreativitas sebagai inspirasi dan motivasi bagi kalangan pemuda.

Deputi I Bidang Pemberdayaan Pemuda, Sakhyan Asmara mengatakan cerpen merupakan bagian penting dalam dunia sastra. Sebab, dengan mengembangkan ruang-ruang penciptaan cerpen akan bermuara pada peningkatan produktivitas karya sastra yang bermutu dan berguna bagi masyarakat luas.

"Dengan mengajak pemuda Indonesia untuk berlomba menulis cerpen, setidaknya bisa terjalin proses kompetisi yang bermuara pada peningkatan daya saing. Bila terbangun mental pemuda yang berdaya saing, maka pembangunan karakter bangsa akan mudah menemukan titik terang," kata Sakhyan di ruangannya, Senin (30/8).

Berikut daftar 22 cerpen yang tersaring dari ratusan cerper yang masuk ke panitia Lomba Cipta Cerpen Pemuda 2010

1. Sulfiza Ariska, judul: Pemetik Shitar, dari Shandong Sumatera Barat
2. Fatmawati, Balada Seorang Guru Muda, Jawa Tengah
3. Fitrawan Umar, Surga Ibu, Sulawesi Selatan
4. Agustina Dwi Rahayu, Canting Cinta Srikandi, Yogyakarta
5. Pinto Anugrah, Pandam, Sumatera Barat
6. Benny Arnas, Senja Yang Paling Ibu, Sumatera Selatan
7. Putri Nahrisa, Nasution Si Ucok Mandailing, Sumatera Utara
8. Saeful Anwar, Toko Demo, Jawa Barat
9. Azizah Hefni, Perempuan Daun, Jawa Timur
10. Siti Chasanah, Tak Seelok Peri Langit, Yogyakarta
11. Resta Gunawan, Telinga Kayu, Yogyakarta
12. Yudhistira, Dendang Si Buyung, Sumatera Barat
13. Pitri Yandri, Dasi Abu-Abu, Banten
14. Riana Sari, Api Kecil di Dermaga, Banten
15. Mahwiyanto, Orang-orang Laut, Yogyakarta
16. Siti Armila, Sandal Biru, Banten
17. Erika Erliana, Seruni, Jawa Timur
18. Ade Galang Kusuma, Kidung Rindu dari Merbabu, Jawa Tengah
19. Ito Kurniawan, Seekor Kunang-Kunang, Jawa Timur
20. M Ridwan, Dongeng Sebelum Berkuasa, Jawa Timur
21. Ahmad Muzaki, Secuil Rajah dari Orang Gila, Lampung
22. Endin Saparudin, Api Terus Menggelora dalam Matanya, Banten

Sumber: http://www.kemenpora.go.id/index/preview/pengumuman/21

Friday 20 August 2010

Membangkitkan Semangat Nasionalisme



Oleh Joni Lis Efendi

KEMERDEKAAN Indonesia 65 tahun lalu bukanlah hadiah dari pendudukan Jepang, yang kalah perang setelah dua kotanya Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Amerika pada akhir Perang Pasifik.

Kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan fisik rakyat bangsa ini mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.

“Merdeka atau Mati!” pekik Bung Karno menjadi magnet pemersatu perjuangan bersenjata bangsa ini. Merdeka adalah harga mati walau harus ditebus dengan genangan darah.

Perjuangan merebut kemerdekaan oleh para pejuang bangsa bukanlah proses kebetulan. Semua itu dihiasi dengan tetesan darah dan air mata yang diikat kokoh oleh rasa nasionalisme Indonesia yang kukuh menghujam dalam dada segenap anak bangsa.

Menjadi bangsa merdeka adalah sebuah pengakuan atas kedaulatan bangsa Indonesia sehingga bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.

“Merdeka atau mati!” Bukanlah sebuah pekikan biasa tanpa makna, tapi sebuah semboyan yang lahir dari adanya sikap nasionalisme. Proklamasi Kemerdekaan 1945 bukanlah puncak dari kemerdekaan, namun baru awal untuk membentuk bangsa Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

Perjuangan senjata tidak serta-merta selesai ketika bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945. Perjuangan senjata masih berlanjut. NICA dan KNIL yang membonceng ketika tentara Inggris mendarat di tanah air, yang awalnya bertujuan melucuti tentara Jepang dan mengevakuasi interniran Eropa. Tentara NICA dan KNIL mendarat di kota-kota besar di Indonesia dan secara terang-terangan ingin mengibarkan kembali bendera Belanda di tanah persada.

Perjuangan senjata mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda kembali berkobar. Pasukan Inggris yang dari awal tidak ingin terlibat kontak senjata akhirnya terseret. Pasukan Inggris dalam Divisi Mansergh yang mendarat di Surabaya dan berhasil menguasai kota itu.

Namun kenyataan mereka tidak mudah untuk menguasai basis perjuangan arek-arek Surabaya yang begitu gigih berkorban mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran 10 November Surabaya 1945 memberikan gambaran bahwa bangsa ini memiliki semangat nasionalisme yang kuat untuk berjuang mati-matian.

Akhirnya Inggris mendorong Belanda untuk menyelesaikan urusannya dengan cara diplomatik. Setelah Inggris menyelesaikan misinya lalu meninggalkan Indonesia, tapi Belanda dengan tentara NICA dan KNIL-nya masih bertahan.

Belanda pun melancarkan Agresi Militer Pertama dan Kedua untuk mematahkan perjuangan rakyat bangsa ini. Tapi Belanda tidak mendapatkan apa-apa selain kerugian besar. Akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada tahun 1949. Indonesia pun diakui sebagai negara merdeka oleh PBB.

Neocortical Warfare
Kegagalan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia adalah bukti kuatnya nasionalisme rakyat bangsa ini yang tidak ingin kembali dijajah. Kehancuran pasukan Amerika dan Prancis di Vietnam serta runtuhnya Uni Soviet pada perang Afghanistan telah menunjukkan bahwa nasionalisme tak mampu dikalahkan.

Kini Amerika Serikat sepertinya akan menggali lubang yang sama pada perang di Irak dan Afghanistan. Kekuatan militer sekuat dan sedigdaya apapun akan sulit menaklukkan benteng kokoh nasionalisme. Sampai detik ini, Palestina tidak mampu dikuasi oleh Israel, yang unggul dari segi apapun, karena semangat nasionalisme.

Namun kini wajah nasionalisme Indonesia sudah kian memburam. Paradigma bangsa ini mengalami pelencengan yang cukup memprihatinkan. Memang tidak ada lagi perjuangan mengangkat senja mempertahankan kemerdekaan dari serbuan negara lain. Tapi bukan berarti nasionalisme menjadi bahan usang.

Tatanan dunia berubah teramat cepatnya sejak bangsa ini merdeka. Kini bangsa kita memasuki era globalisasi yang meniadakan batas-batas wilayah negara dan seakan-akan kedaulatan suatu bangsa sudah melebur menjadi kesatuan. Namun semua itu hanyalah mantra baru yang melenakan. Dalam globalisasi peran negara dimarginalkan, sehingga dominasi korporasi multinasional menjadi penentu dalam kebijakan suatu negara.

Ketimpangan antar negara dibiarkan terjadi, sehingga yang mendapatkan keuntungan lebih besar adalah negara-negara maju. Sedangkan masalah kedaulatan, nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan menjadi perbincangan usang, jadul dan tidak relevan lagi pada masa ini. Tanpa sadar sebenarnya nasionalisme bangsa ini kian terkikis.

Secara sepihak, negara-negara kuat seperti Amerika terus memupuk semangat nasionalisme negaranya untuk mengamankan kepentingan mereka terhadap negara-negara lain (negara berkembang). Pemuda-pemuda Amerika terus dibangkitkan semangat nasionalismenya sehingga bersedia ditempatkan di pangkalan militer negara adidaya itu seperti di Jepang, Timur Tengah, Korea, Irak dan Afghanistan. Semua itu untuk menjaga kepentingan dan hegemoni mereka atas bangsa-bangsa lain.

Bagi Amerika, ancaman perang tidak akan pernah berakhir. Kekuatan militer bagi Amerika adalah perangkat keras untuk mengamankan kepentingan mereka serta mengintimidasi nasionalisme bangsa lain.

Bagi mereka, nasionalisme bangsa lain adalah sebuah potensi ancaman. Negara-negara maju menyadari sepenuhnya mengerahkan tank, pesawat tempur dan tentara untuk menguasai suatu negara begitu berisiko dan biayanya sangat mahal. Agar kepentingannya dan hegemoni mereka tetap terjaga, Amerika dan negara maju terus melancarkan neocortical warfare yakni perang neokortikal yang mencecoki otak-otak masyarakat di negara ketiga dengan pesan-pesan dalam bentuk verbal (suara), visual (gambar) dan tulisan.

Pesan-pesan itu bermuara pada satu tujuan yakni mencuci otak masyarakat negara lain sehingga mereka meyakini bahwa yang lebih hebat teknologi, politik dan budayanya adalah Amerika.

Pelan tapi pasti mereka akan mengekor pada Amerika karena otaknya sudah berhasil dicuci. Gejala seperti ini sudah demikian kentara merasuki pikiran bangsa ini. Semua yang datang dari Amerika adalah baik, sedangkan apa-apa yang kita miliki, apakah itu kebudayaan, tradisi, produksi dalam negeri dan sebagainya hanyalah kelas rendahan.

Lambat-lambat sikap kebangsaan dan nasionalisme bangsa ini menjadi luntur. Amerika tidak perlu mengarahkan moncong rudalnya ke Indonesia untuk menguasai bangsa ini. Nyatanya tidak ada siapa pun di republik ini yang mampu mematahkan kepentingan Amerika di Indonesia.

Nasionalisme Indonesia memang sengaja dilemahkan agar bangsa ini tidak macam-macam apalagi sampai mengganggu kepentingan Amerika dan negara maju lainnya. Karena bangsa Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, letaknya yang strategis di jalur perdagangan dan pelayaran dunia.

Andaikan nasionalisme bangsa ini kuat tentu kita akan menjadi bangsa yang sangat disegani dan Amerika dan kroni-kroninya tidak bisa sesuka hatinya mengotak-atik kepentingan dan kedaulatan Indonesia. Sayangnya, nasionalisme kita kian kendur dan indikasi perpecahan di dalam tubuh bangsa ini sudah mulai tampak. Sampai kapan kita membiarkan kondisi seperti ini berlangsung? Semoga dengan peringatan 65 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ini, kita mampu membangkitkan kembali semangat nasionalisme untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan disegani di mata dunia.***


Joni Lis Efendi, Ketua Kajian Lingkar Perubahan.
Sumber:Riau Pos,
17 Agustus 2010